KISAH MISTERI : Kampung Siluman Kuala Ketandan


Di luar perhitungan, saya terjebak masuk ke kampung itu. Rasanya, kematian begitu dekat. Namun, Tuhan menyelamatkan aku untuk kembali ke alam nyata. Keluar dari ketegangan yang mengerikan di Kampang Siluman, Kuala Ketandan, Kapuas Beso, Kalimantan Barat. 

Perjalanan senja itu terasa melelahkan. Jalan rusak parah. Aspal sudah tak terlihat lagi dan yang nampak hanya tanah becek yang licin. Mobil sedan honda civic tahun 1980 ku beberapa kali slip. Tergelincir, terbanting ke kiri dan ke kanan. Bahkan, akibat licin, kendaraanku nyaris masuk ke jurang persawahan. Tapi, untunglah, aku memiliki trik menyetir yang jitu untuk menghindari bahaya jalan rusak. Maka itu, aku selamat tidak sampai terjatuh. Trik itu diberikan ayahku ketika aku diajarinya menyetir di Hutan Payaraman, ketika aku remaja di Palembang, Sumatera Selatan. 

Kini, ayahku sudah meninggal, ibuku juga. Aku anak tunggal lalu menjadi hidup sebatang kara. Aku tumbuh bersama kakek dan nenekku. Merekapun, beberapa tahun kemudian, menyusul ke alam kubur. Mulanya kakekku, iaiu disusui pula oleh nenekku. 

Rasanya, kini aku tidak punya siapa- siapa lagi. Hanya satu orang yang memperhatikanku, ia adalah kekasihku. Calon suamiku. Kang Marjan, seorang pengusaha importir sembako yang menguasai beberapa pasar di ibukota. Dari dirinya, aku belajar bekerja, berusaha dan dagang. Hasilnya, Alhamdulillah, aku menjadi keranjingan dagang dan berhasil. 

"Tidak ada pekerjaan apapun yang menjadi sia-sia bila kita serius dan sungguh- sungguh," kata Kang Marjan, kepadaku, di masa awal aku belajar dagang. 

Karena kerja keras dan perjuangan gigih, aku berhasil hidup sebagai pedagang Pasar Ampera, Jakarta Pusat. Di pasar ini mula- mula aku berdagang kelontong mainan anak-anak. Namun, karena kesungguhanku, akhirnya usaha itu menjadi besar. Aku lalu membeli ruko secara cicilan bank dan maju pesat. Aku beli mobil, tanah dan perkebunan karet di Tugumulya, Ogan Komering ilir, kampung halaman orangtuaku di Sumatera Selatan. Kebun karetku kini berjumlah 45 hektar dan menghasilkan getah yang berton- ton setiap bulan. 

Akibat serangan jantung mendadak, Kang Marjan meninggal dunia. Aku pingsan di paviliun Kartika Rumah Sakit RSPAD, Jakarta Pusat, tempat di mana Kang Marjan dirawat. Hatiku begitu terpukul dan gundah gulana. Satu-satunya orang yang aku miliki, yang memperhatikan dan menyayangi aku, diambil pula oleh Allah. Dan, kembalilah aku menjadi sebatang kara. 

Karena patah hati, frustrasi dan putus asa, aku menjual semua ruko yang ada di Jakarta, tanah perkebunan karetku di Sumatera Selatan, lalu pindah ke Pontianak, Kalimantan Barat. Aku membeli sebagian saham hotel berbintang tiga Kahayan Hotel di Jalan Prakit, sebutlah begitu, di Kota Pontianak. Hotel itu kurang laku dan bangkrut setahun setelah aku berinvestasi di situ. 

Usaha hotel bangkrut, aku pun ikut bangkrut. Hutangku di mana-mana dan aku ditagih oleh debt collector. Biro jasa penagih hutang yang menggunakan kekerasan. Karena takut, aku lari dari rumah kontrakanku di Pangiling, mengendarai mobilku menuju perbatasan Indonesia- Malaysia di utara Sambas. Aku tidak tahu mau ke mana. 

Namun, aku berhitung, aku mau menjadi imigran gelap di Kuching atau Sabah, Malaysia dan menjual mobilku di perbatasan. Di Malaysia, aku rela menjadi pembantu rumah tangga, untuk sekedar dapat bertahan hidup. Dapat makan dan pakaian secara layak selama dalam pelarian. 

Aku melakukan perjalanan itu pada malam Jum'at Kliwon, 2 Maret 2012 menuju utara. Aku mengambil jalan Sambas lalu ke Entekong dan memasuki perbatasan Serawak. Mobil Honda Civic tuaku aku jual di perbatasan dengan Haji Karim, pemilik ratusan hektar perkebunan sawit di Kuala Tunggal. Mobil tuaku itu dihadiahkannya untuk pegawai teladannya, pemetik buah sawit yang berprestasi. Uang dari penjualan mobil bobrok ku itu aku gunakan untuk makan di Kuching, Serawak, Malaysia, sebelum aku mendapatkan pekerjaan yang kucan. 

Setelah menjual mobil dan menerima uang, aku langsung makan siang di warung Hajjah Kurnia di Desa Kuala Ketandan. Seharusnya makan siang pukul 13.00, tapi aku makan siang sudah senja, pukul 16.00 Waktu Indonesia Tengah. Karena terlalu lapar, perutku menjadi sakit. Asam lambung naik dan penyakit maag kronis ku kumat lagi. Habis, makan, aku membeli obat maag di warung, dan mengunyah obat itu dua, langsung tanpa air. 

Dusun Kuala Ketandan itu memang masih hutan. Penduduk masih sangatjarang dan jarak antara satu rumah ke rumah lain sangatlah jauh. Sepanjang perjalananku, dikelilingi hutan lebat. Kayu-kayu besar jenis ulin, angsana, gerawan dan ulin. Karena lelah berjalan kaki dengan membawa tas ransel berat, aku beristirahat di sebuah akar kayu. Akar besar yang berbentuk seperti bangku. Untuk itu, aku memilih duduk dan bersantai di senja yang cerah itu. 

Namun, sebelum tertidur karena mengantuk, aku dikejutkan oleh suara musik rampak. Musik perkusi yang nyaring, rismis, dinamis dan enak aku dengar. Beberapa saat kemudian aku melihat seratus wanita cantik berambut pirang, memainkan musik itu. Mereka berjalan ke arah ku, lalu melawatiku sambil bermain musik rampak. Mereka tidak memperdulikan aku. Karena penasaran, aku mengikuti rombongan gadis cantik itu dari belakang. 

Pada sebuah tikungan, mereka masuk ke sebuah istana yang sangat megah. Semua bangunan beton dengan vitrase emas dan lampu-lampu kristal. Mereka masuk ke dalam istana dan aku mengikuti masuk. Dengan lancang, aku masuk saja bagaikan tamu yang tak diundang. Ketika mereka menghentikan musik dan duduk di karpet, aku pun ikut duduk dan pada posisi paling belakang. Beberapa saat kemudian, muncul wanita lebih tua, dipanggil Tuan Ratu Dewi Kunti oleh ratusan gadis cantik-cantik itu. 

Siapa wanita yang paling belakang itu? Ayo suruh dia datang ke sini,” kata Ratu Dewi Kunti, menunjuk aku. Semua gadis menengok kepadaku dan beberapa di antaranya menarik tangan kananku agar aku menghadap Dewi Ratu. 

Dengan mata menyala-nyala dan wajah murka, Dewi Ratu Kunti menempeleng mukaku. Sakit sekali dan dari mataku mengucur darah segar. "Kurang ajak kamu, siapa yang menyuruh kamu masuk rombongan tadi?" tanyanya. Aku memang bersalah dan hanya bisa diam menerima hukuman. Kemudian Dewi Ratu Kunti memerintahkan aku dirantai, dipasung di belakang istana. Tubuhku diikat dan aku dipecut. Sakit dan sangat sakit sekali. Aku lalu berserah diri kepada Allah, berdzikir dan berdoa minta dilepaskan dari rantai besar itu. 

Alhamdulillah, keajaiban datang. Tiba- tiba rantai meleleh dan terputus. Aku melepaskan diri dari ikatan lalu kabur ke arah utara. Melawati bukit, hutan belukar dan kayu-kayu angsana besar. Aku sampai di perbatasan Serawak dan masuk negeri Malaysia secara ilegal. Karena tidak ada teman, aku terlantar beberapa saat di Kuching, kemudian barulah mendapat pekerjaan sebagai pembantu cuci piring di rumah makan Minang di Kuching. 

Kini, pada bulan Agustus 2014 ini, aku sudah mempunyai tiga rumah makan di Kuching. Aku sudah jadi pengusaha di Malaysia dan menjadi penduduk sah Kuching. Namun, kenangan mengerikan di hutan Kuala Ketandan, membuat hatiku miris dan jantungku berdetak hebat. Petualanganku dulu, benar-benar berani hingga aku nyaris mati di sarang kuntilanak Kalimantan barat. Arkian, Hutan Kuala Ketandan dekat perbatasan itu, adalah kampung siluman yang mengerikan. Kampung yang dihuni ratusan kuntilanak cantik yang selalu berinteraksi dengan manusia setempat. Sekarang, aku takut bertualang lagi dan tak akan kembali ke Kuala Ketandan yang menyeramkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar