Kisah Misteri : Aksi Teror Dua Mayat


Senja itu cuaca sangat dingin. Hanya 12 yang aku sewa tidak ada hitter pemanas. Tidak ada perapian ruang. Maklumlah villa itu villa murahan dan hanya disewa dengan harga beberapa ratus ribu saja per-malam. Namun, karena kami butuh menginap di situ, maka kekurangan itu kami abaikan.


"Serahkan Anak-anak senang di situ karena ada kolam renang, walau kolam renangnya sangat kotor, banyak daun dan sampah yang bertebaran di permukaan air.

"Kalau kalian mau berenang, ada tukang bersih-bersih yang bisa disewa. Dia akan membersihkan kolam ini. Bahkan, dia pun bisa menaburkan obat air supaya tidak ada kutu air yang membuat gatal," kata Mang Aje, penjaga villa tua itu, kepadaku dan juga kepada suamiku, Mas Sigit Nugraha.

Mendengar keterangan bisa dipakai, anak-anak kegirangan. Mereka semua melompat gembira, lalu aku memanggil tukang kolam itu. Kuminta Mang Aje memanggil dia dan aku akan membayarnya. Tapi, kataku, yang penting kolam itu benar- benar bisa digunakan, dipakai dan tidak menyebarkan penyakit. Mang Aje menjamin, bahwa kolam akan bersih dan siap dipakai.

Mang Aje segera turun dari bukit. Dia menghambur ke pemukiman warga di bawah villa. Sementara aku pergi ke dapur untuk memasak air minum. Galon air aqua dari mobil segera diturunkan. Aku segera menyalakan kompor gas dan memasak air. Anak-anak minum energen dan Mas Sigit Nugraha aku buatkan kopi hitam kesukaannya.

Kopi kapal api dengan sedikit gula. Dia suka agak pahit dan dihidangkan bersama pisang goreng. Pisang uli sudah saya beli di Pasar Cisarua dan siap dihidangkan dengan keju, coklat dan susu kental manis. Setelah menikmati minuman hangat dan pisang goreng keju, tukang bersih-bersih kolam datang bersama Mang Aje.

"Bu, ini Mang Ujang sudah datang.
Dia akan membersihkan kolam itu sore ini juga," desisnya. "Lha, kan hari sudah gelap, bagaimana kalau besok aja. Bukankah sebentar lagi azan magrib, apa Mang Ujang dan Mang Aje tidak sembahyang?" tanyaku.

"Maaf Bu, kami berdua bukan beragama islam. Kami tidak melakukan sembahyang Magrib," jawab Mang Aje, nyantai.
"Memangnya agamanya apa Mang?" tanyaku, penasaran.

"Kami tidak punya agama, kami tidak tahu agama apapun, mungkin kami ini kelompok atheis, kafir," kata Mang Aje, serius.

Aku tersentak mendengar keterangan Mang Uje ini. Pikirku, selama ini semua masyarakat suku Sunda di daerah Puncak Pass itu beragama Islam semua. Di luar dugaan, ada sebagian kecil yang tidak beragama Islam. Bahkan tidak beragama sama sekali. Duh Gusti.

Hingga aku selesai sholat Isya, kolam renang masih terus dibersihkan. Kami makan malam dan dua orang pekerja ini kami kirimi makan. Mereka makan dengan rantang di dekat kolam. Kami kirim juga minuman dan buah pencuci mulut untuk mereka.

Setelah makan malam, mereka melanjutkan pekerjaan. Membersihkan kolam dan rumput-rumput di pinggir tempat berenang itu. Aku agak terusik juga melihat mereka yang terus bekerja sementara malam semakin gelap. Untuk itu, aku turun dari villa dan mendekati kolam renang.

"Maaf Pak, apa tidak lebih baik jika dilanjutkan besok pagi saja. Hari sudah malam, mana dingin lagi, nanti kalian berdua jadi masuk angin, sakit. Sudah Pak, besok saja dilanjutkan ya?" kataku.
Mang Uje menghentikan pekerjaannya, lalu dia berdiri menjawabku.

"Tidak bisa berhenti Bu, kami harus menyelesaikan pekerjaan ini malam ini juga. Besok kami ada pekerjaan lain, tidak bisa menunda pembersihan kolam ini, harus selesai malam ini juga, walau sampai tengah malam," jawab Mang uje.

"Oh begitu? Kalau demikian keadaannya, apa boleh buat, semoga kalian tidak sakit," ungkapku. Mereka mengangguk lalu bekerja kembali. Sementara aku langsung masuk ke dalam villa dan menyiapkan makanan kecil untuk nonton televisi.

Kami sekeluarga nonton televisi, sementara dua anakku, main play station di tivi yang lain. Pukul 23.00 mendekati tengah malam, tiba-tiba terdengar suara jeritan orang dari arah kolam renang. Kami semua tersentak dan langsung ke luar villa. Aku membawa senter besar 12 batere untuk mencari sumber suara jeritan itu.

Setelah mendekati kolam renang, mata senterku tertuju kepada dua orang yang mengambang di kolam renang. Suamiku segera masuk ke kolam dan mengangkat mereka. Arkian, ternyata keduanya sudah meninggal dunia.

Jantungku berdetak hebat. Bulu kudukku tiba-tiba spontan merinding. Rasa takut membuncah hebat dalam batinku. Begitu juga dengan suami dan anak-anak.

"Persoalan kita berat Ma, mau tidak mau kita akan berurusan dengan polisi. Dua nyawa melayang di kolam ini, di mana kita menyewa villa ini. Sekarang juga kita harus menelpon polisi, supaya mereka datang ke TKP dan menyelidiki masalah kematian ini. Jika tidak, berbahaya bagi kita, kita bisa menjadi tersangka pembunuhan. Ayolah, kita ke dalam dan menelpon polisi," kata suamiku, panik.

Aku segera mengajak anak-anakku masuk ke villa. Kami meninggalkan mayat terbujur kaku di kolam renang. Suamiku langsung mengambil handphone dan menelpon Polsek Cisarua. Dalam waktu beberapa menit, dua orang anggota reserse bersama seorang kanit serse berpangkat
perwira muda, datang ke lokasi.

Kami segera menyambut mereka dan mengajak ke kolam renang.
Sesampainya di kolam renang, kami terperanjat. Kami berdua kaget, begitu juga dengan anak-anak. Syahdan, ternyata dua mayat itu sudah tidak ada di permukaan air.

"Lha, ke mana mayat itu Ma?" tanya suamiku. Tiga polisi pun saling melirik.
"Oh Tuhan, ke mana jenazah mereka?" tanyaku pula, sebelum menjawab pertanyaan suamiku.
Kepala reserse AKP John Simbolon berujar santai.

"Kalian yakin ada dua mayat mengambang di kolam ini?" tanya John.
"Saya berani sumpah Pak, Demi Tuhan, ada dua mayat pekerja pembersih kolam yang meninggal di kolam ini," desisku.

Suamiku juga bersumpah. "Demi Tuhan Pak, ada mayat yang mengambang di permukaan kolam," terang suamiku.

"Kalian mungkin sedang berhalusinasi, seakan melihat mayat di kolam ini. Tapi apa iya sih, kalian berbarengan berdua berhalusinasi?" sergah John Simbolon.

"Pak, kami bukan sedang bermimpi atau bukan pula berhalusinasi. Soalnya kami bukan hanya melihat, tapi malah memegang mayat itu. Kami berdua masuk ke kolam dan menyentuh jenazah mereka berdua. Masak kami berhalusinani Pak? Tangan ini rasanya masih hangat setelah menyentuh tubuh dua mayat itu!" imbuhku.

AKP John Simbolon memerintahkan dua anak buahnya serse untuk menyusur wilayah sekitar villa. Namun kedua anggota kepolisian itu tidak pula menemukan apa-apa di sekitar kolam. Lagi pula, mana mungkin mayat itu pindah, berjalan ke lain tempat sementara mereka kami lihat 100 persen telah tewas.

Setelah dua jam bersama kami, polisi pun memutuskan untuk meninggalkan villa. Mereka meminta kami menghubungi mereka lagi jika ada sesuatu yang mencurigakan.
"Ini nomor handphone saya Pak. Bapak boleh hubungi saya jam berapa pun. Sebagai pelayan masyarakat dan penegak hukum, kami bersedia menerima telpon warga.

Jika perlu, kami meluncur ke lokasi setelah menerima telepon," ungkap John Simbolon, sambil tersenyum ramah.

Setelah memohon ijin pamit, kami mengantarkan mereka hingga halaman parkir mobil. Mereka melaju dengan mobil kijang komando tua menuju kota kecil Cisarua. Setelah mereka pergi, kami kembali ke kolam renang, panasaran dengan apa yang terjadi malam itu. Memang benar, di kolam itu tidak ada apa-apa, keculai sapu air, sapu dan ember pembersih sampah daun di tepi kolam.

Setelah itu, kami masuk ke dalam vila dan meminta anak-anak tidur. Karena mereka ketakutan setelah melihat mayat, maka mereka minta tidur satu kamar dengan kami. Maka itu, satu kamar kami gunakan untuk beramai-ramai.

Karena agak tenang sekamar dengan kami, anak-anak kami pun tertidur lelap, sementara aku dan suamiku, karena tegang, tidak dapat tidur. Kami berbicara terus, terutama tentang teka teki mayat misterius itu. Mayat penjaga villa yang mati lalu mayatnya raib entah ke mana. Lalu, karena seram, malam itu juga kami memutuskan untuk berbenah, lalu pulang ke Jakarta.

"Kita tidak perlu meneruskan liburan ini di sini. Berbahaya. Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan villa ini. Pantas saja harga sewa villa ini murah, sementara villanya sangat mewah yang lengkap dengan taman dan kolam renang," ungkap suamiku.

Kami mempertanyakan, kemana mayat Mang Aje dan Mang Ujang itu. Kami juga membahas, siapa sebenarnya mereka dan apa yang terjadi dengan keduanya. Menurut pendapatku, mereka bukan manusia biasa. Mereka manusia langka, yang aku dengar selama ini, yaitu ada manusia pemuja setan, pelaku ilmu gaib untuk mendapat keilmuan sakti mandraguna.

Caranya, yaitu, menyamar menjadi mayat. Menahan nafas dan menghilangkan nyawa sementara. Mereka bukan mati, tapi hanya pingsan dalam waktu cukup lama lalu hidup lagi.

Sementara pendapat suamiku, yaitu, Mang Aje dan mang Ujang itu sebenarnya sudah mati lalu menjadi hantu. Mereka menwujud ke dunia dan berinteraksi dengan manusia yang masih hidup. Dua pendapat ini nampaknya benar. Tinggal pendapat mana yang paling tepat dan pas sesuai keadaan sesungguhnya.

Pukul 04.45 sebelum sembahyang Subuh, terdengar suara teriakan lagi dari kolam renang. Jenis suara itu mirip dengan suara teriakan ketika kami menemukan dua mayat di permukaan air.
Dengan keberanian yang tersisa pada diri kami, kami berdua ke luar villa dengan senter besar milik kami, menuju sumber suara dari arah kolam renang. Mas Sigit Nugraha, suamiku di depan, sementara aku berjalan di belakangnya sambil memegang baju piyama tidurnya.

"Hati-hati, jangan lupa baca-bacaan ayat suci, Al Fatihah, Al Falaq dan Al ikhlas Ma," ujar Mas Sigit, kepadaku.

Mulutku pun berkomat kamit, berdoa kepada Allah, berserah diri meminta keselamatan keluarga kami. Dengan melangkah menjinjit, kami perlahan menuju kolam renang.

Kurang lebih dua meter dari kolam, jantung kami berdetak kencang. Dua mayat itu ada lagi, mengambang persis seperti apa yang kami lihat sebelum polisi datang. Aku menggigil ketakutan. Begitu juga dengan Mas Sigit Nugraha, juga menggigil. Selain bergetar karena takut, kami juga menggigil karena udara pagi di Puncak Pass itu begitu dingin.

"Apa yang harus kita lakukan Mas?" tanyaku.

"Mama ke dalam, telpon polisi, saya menunggu mayat itu di sini. Minta Pak Kasat Serse segera datang dengan cepat, katakan mayat itu ada lagi," kata Mas Sigit.

Walau sangat takut, aku berlari ke dalam mengambil handphone dan menelpon polisi. Dalam keadaan mengantuk, AKP John segera bersiap untuk datang. Dia akan memanggil dua anak buahnya untuk datang ke TKP dengan sepeda motor.

Dalam waktu seperempat jam, AKP John sudah berada di villa. Tidak berapa lama kemudian, dua anak buahnya juga hadir tepat waktu. AKP John segera menghambur ke kolam renang dan dua mayat itu masih mengapung di permukaan air.

Dua anak buah John memotret mayat lalu setelah itu memasang Police Line, garis polisi berwarna kuning. Namun sebelumnya, dua jenazah itu mereka dekati dan dilihat, lalu dipastikan memang mayat manusia dan keduanya adalah penjaga villa yang bekerja membersihkan kolam villa yang kami sewa.

Namun, beberapa jam kemudian, pada saat matahari membiaskan sinar kuning di timur, dua mayat itu menghilang lagi.

AKP John dan dua anak buah kebingungan. Bahkan, mereka lalu masuk ke kolam, mencari dua mayat itu, yang dimungkinkan tenggelam ke dasar kolam yang berkedalaman dua meter itu. Namun usaha itu sia-sia karena dua mayat itu memang raib secara misterius, tidak ada di situ lagi.

Hingga siang hari, pada saat kami pamit pulang ke Jakarta, mayat itu tidak ditemukan juga. Kami diijinkan AKP John pulang namun dengan catatan tertentu, yaitu diharuskan melaporkan dan siap menerima laporan dari polisi tentang kasus dua mayat misterius itu.

Dengan kecepatan sedang-sedang saja, suamiku memacu mobil Kijang Inova warna silver menuju Jakarta. Kami melintasi Warudoyong, Pasirmuncang lalu masuk tol Jagorawi. Sesampainya di rumah, kami memanggil kyai untuk melihat persoalan gaib yang kami hadapi. Kyai Arsyat Harun Mardiyono memanggil roh dua mayat itu, yang ternyata datang siang itu secara gaib pula, yang membuat Kyai Haji Arsyat Harun berjungkir balik di dinding rumah kami.

Arkian, arwah dua penjaga villa itu melakukan penyerangan kepada kyai dan kyai nyaris kalah. Untunglah, ilmu sakti mandraguna kyai sangat tinggi, sehingga akhirnya dia memenangkan pertandingan itu. Dua arwah penjaga villa dimasukkannya ke dalam botol lalu ditutup rapat.

Rencananya, dua arwah itu akan dibuang ke laut selatan, Pelabuhan Ratu, Sukabumi Selatan, agar dia tidak lagi mengganggu villa tempat kami menginap. Dan paling penting, tidak membuntuti kami lagi sampai kapanpun.

Ternyata, kata Kyai Arsyat Harun, dua arwah itu bergentayangan mengikuti kami. Dia akan menteror kami sampai kapanpun. Untunglah kami cepat melaporkan pada kyai dan kyai cepat menyelesaikan masalah itu.

"Dua arwah itu senang menteror kalian dan dia menghilang lalu muncul lagi di kolam renang itu, hanya untuk mengganggu kalian. Hantu manusia itu tidak membunuh, tapi jika berpenyakit jantung, seeorang bisa meninggal dibuat kaget olehnya," terang Kyai Haji Arsyat Harun kepada kami.

Setelah dimasukkan ke dalam botol, hari itu juga kami berangkan ke Pelabuhan Ratu, Sukabumi untuk melemparkan botol ke Samudera Hindia. Kami naik bukit di sebuah hotel di atas laut, lalu kami melemparkan, botol itu dan botol itu tenggelam di dalam ombak di antara karang-karang terjal.

Alhamdulillah, setelah diritual kyai dan botol dibuang ke laut, kami tidak menemukan hal aneh di rumah kami di Jakarta Selatan. Anak-anak kami pun terbebas dari rasa takut dan sudah mau tidur di kamar mereka masing-masing.

Tapi, walau merasa aman, kami untuk sementara waktu tidak mau ke villa manapun. Kami berliburan di rumah saja, jalan ke mall atau ke bioskop di Jakarta saja. Paling jauh, kami ke Jakarta utara untuk berlibur ke Ancol atau Dunia Fantasi dan Taman Mini di Jakarta Timur.
Terima kasih Tuhan, terima kasih kyai, yang telah menyelamatkan kami dari teror dua mayat yang mengerikan itu.

Mayat yang menyaru sebagai manusia biasa, yang ternyata sudah menjadi hantu yang bergentayangan menuntut korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar