KISAH MISTERI : Didatangi Jerangkong Penuh Dendam


Kisah ini berawal dari aksi memantek telinga tengkorak. Mantek adalah Bahasa Jawa, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti memasukkan benda tajam, cukup panjang ke bagian tubuh tertentu. Benda yang dipergunakan untuk memantek bisa berupa besi ataupun benda lain, yang intinya orang menancapkan sesuatu ke dalam bagian tubuh, boleh orang, boleh binatang.

Suatu hari, seorang warga Desa Bendilwungu, Sumbergempol, Tulungagung, Jawa Timur, sebut saja Guna (37), sedang mengikuti pemakaman seorang tetangganya di kuburan desa. Guna adalah tipe lelaki brangasan, suka iseng dan sok banget.

Dia terkenal juga lelaki yang tak pernah mau mengalah dengan segala apa yang dikehendakinya. Jelasnya, semua keinginannya harus dituruti oleh orang-orang sekitarnya.
Di atas gundukan tanah tempat Mbah Nawan (80) dimakamkan tersebut terdapat beberapa potongan tulang-belulang jasad orang yang lebih dulu dikubur pada lokasi itu. Dasar suka iseng, Guna mengambil batok kepala, yang mungkin bagian tubuh dari tulang-tulang itu sendiri.

"ini baru sip!" ujar Guna sambil menyelipkan sebatang rokok yang masih menyala ke dalam bagian rongga mulut tengkorak itu.
Bukan itu saja. Tangan kanannya yang gatal mengambil sebilah potongan bambu dari sudut selatan kompleks makam, menajamkan bagian ujungnya menggunakan sabit, lantas memantek/menancapkan bambu tajam tadi ke bagian telinga tengkorak, dari kiri ke arah kanan hingga sepanjang kurang lebih tujuh puluh lima sentimeter.

"Hih, rasakno saiki! Kapok kowe (rasakan sekarang, biar kapok kamu)!"
Beberapa orang pelayat sudah mengingatkan Guna agar tidak iseng yang keterlaluan demikian. Lalu apa jawab Guna?
"Wualah! Wong tengkorak saja kok ditakuti. Tak mungkin mampu berbuat apa-apa lagi. Kalian saja yang penakut. Huh!"

Para pelayat hanya bisa mengelus dada, sambil berharap supaya apa yang dilakukan Guna ini memang tidak mengundang malapetaka yang merugikan diri dan keluarganya.
Malam sepulang dari melayat. Guna cangkrukan di gardu kamling tak jauh dari rumahnya. Lelaki dengan lima orang anak hasil perkawinannya dengan Gianti (30) ini memang hampir tiap malam jagongan dengan banyak orang sedesanya di pos kamling dekat kuburan tersebut.

Entah ada pengaruh apa, baru jam sebelas malam, Guna pamit pulang terlebih dahulu kepada kawan-kawannya.
"Aku ngantuk. Mau tidur. Pulang dulu,"
ujar Guna sambil menerobos kepekatan malam yang berhembuskan angin musim penghujan ini.
"Kok njanur gunung (tidak biasanya),

Kang Guna. Memang mau kelonan dengan Yu Gianti, ya?" canda Kirna, lelaki pedagang sayur di Pasar Ngemplak tadi pada Guna.
"Kelon dengkulmu! Orang ngantuk kok nggak boleh!" jawab Guna terus melangkah tanpa memperdulikan ocehan kawan-kawan di pos kamling.

Baru sesaat mata terpejam, Guna geragapan bangun. Jantung Guna berdetak jauh lebih keras daripada biasanya. Ada apa?
"Kunyuk! Aku mimpi didatangi jerangkong yang di bagian mulutnya mengepulkan asap rokok, serta bagian telinganya tertancapkan bambu tajam, persis yang kulakukan siang harinya," kisah Guna pada keesokan harinya pada Gianti.

"Kamu baru melakukan kebodohan yang tak pantas pada sebuah tengkorak, Kang?!" kata Gianti setengah menjerit.
"Kupikir...kupikir        "
"Kupikir..kupikir! Jangan kebangeten begitu, Kang. Kalau sudah begini, siapa yang merasakan akibatnya. Kakang sendiri, kan?"
Guna tak menjawab. Walau tanpa jawab, kecemasan Guna bahwa esok mimpi serupa tidak datang lagi hanyalah isapan jempol belaka.

Terbukti, selama sepuluh malam berturut- turut jerangkong itu tetap datang, bahkan bila Guna tidak melakukan sesuatu seperti yang disarankan si jerangkong, Guna akan menanggung akibat yang jauh lebih berat lagi.

Teror jerangkong akhir-akhir ini membikin jiwa Guna rapuh juga. Hampir tiap malam dia tidak mau tidur. Rasa takut teramat dalam akan didatangi jerangkong ini sungguh menjadikan tubuh dan pikiran Guna melorot tajam.

Tidak siang, tidak malam Guna selalu berteriak ketakutan, sambil tangannya menuding ke suatu arah, sebagai isyarat bahwa bayangan akan perwujudan jerangkong penuh amarah tadi tak bisa lenyap dari pelupuk matanya.

"Aku benar-benar gila, kalau begini terus- terusan," keluh Guna kepada Mbah Garim, seorang pria usia kurang lebih lima puluhan tahun yang sedikit banyak paham akan dunia supranatural.
"Harus kamu lakukan sesuatu, dengan tanganmu sendiri," kata Mbah Garim, mencoba memberi solusi akan permasalahan pelik yang dihadapi Guna.

"Maksudnya, apa Mbah?!"
"Gali lagi makam tempat tengkorak yang kamu usili tempo hari."
"Waduh, Mbah!" jawab Guna sambil membayangkan bau busuk mayat yang mungkin sudah mulai digerogoti cacing tanah.

"Kamu ingin sembuh atau tidak. Yang berbuat harus bertanggung jawab."
Takut diteror jerangkong, masih ditambah dengan khayalan Guna perihal mayat membusuk yang baunya bisa membuat orang waras pingsan, sungguh semuanya jadi penyebab ke arah gila permanen bagi Guna. Dia hanya bisa menangis penuh sesal dengan apa yang dilakukan.

"Jangan kawatir, Gun! Nanti aku yang akan selalu mendampingimu!" hibur Mbah Garim pada Guna yang masih saja meraung- raung dengan gelontoran tangisnya.
Tepat dua minggu stelah kematian Mbah Nawan tempo hari, di sela-sela rintiknya hujan, diiringi halilintar yang sebentar-sebentar menyambar hamparan bumi menghitam, ada pemandangan agak berbeda di kuburan Desa Bendilwungu.

Guna, dibantu tujuh orang tetangga, ditemani Gianti dan Mbah Garim, ayunan cangkul terdengar memecah kegelapan malam. Crak.. .crak.. .crok.. .crok!
Dengan keringat bercucuran, mereka terus menggali makam. Tujuan utamanya bukan hendak membongkar kembali mayat Mbah Nawan, namun menemukan kembali tengkorak yang diperlakukan tidak sewajarnya oleh Guna tersebut.

"Syukurlah, tengkorak itu tidak sampai menyentuh kain kafan mayat Purnaman. Jadi kamu langsung mengambil tengkorak itu. Rokok dan bambu tajam yang menghunjam pada bagian telinga tengkorak segera cabut," pinta Mbah Garim setelah Guna menemukan benda dimaksud.
"Lalu, apa, Mbah?!"

"Mohon ampun kepadaNya, agar teror itu tidak datang lagi. Jangan lupa, rokok dan potongan bambu, masukkan lagi ke dalam gundukan tanah. Bila kamu naikkan ke atas, dikhawatirkan ada syetan laknat yang memanfaatkan untuk membuat ulah serupa," saran Mbah Garim lagi.

Proses pengembalian tengkorak memakan waktu cukup lama, lantaran lampu petromak yang dibawa dari rumah padam beberapa kali. Penerangan di tengah kuburan ini musti dibantu dengan lampu senter, serta beberapa kerlip rokok beberapa orang.

Sebelum mereka pulang, diadakan do'a bersama plus selamatan ala kadarnya, dengan satu tujuan agar teror tengkorak gentayangan tidak muncul kembali.

"Perkuat ibadahmu, Gun. Buang masa lalumu yang kurang terpuji, kembali kekeyakinan hakiki yang memang tidak boleh kompromi," papar Mbah Garim panjang lebar kepada Guna, juga kepada yang hadir di situ.

Sejak itu, daun pintu yang digedor-gedor dari arah luar, disertai kedatangan tengkorak di rumah Guna sudah tak terdengar lagi.
Guna bisa hidup lebih tenang menghabiskan kodratnya sebagai manusia biasa, bersama Gianti dan anak-anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar